Kamis, 22 Mei 2014

POLA PENDIDIKAN ANAK

Islam adalah agama yang sempurna dan sangat memperhatikan pertumbuhan generasi mendatang. Untuk itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memerintahkan kita mewujudkan keluarga shalih-shalihah, penuh kasih sayang karena Allah, penuh dengan dinamika ibadah.


Sehingga diharapkan dari rumah tangga seperti itu  akan terlahir anak-anak yang shalih-shalihah, kokoh dalam aqidah, tekun dalam ibadah, memiliki wawasan keilmuan dan penuh persaudaraan. Maka, insyaallah secara keseluruhan Islam akan tumbuh kuat serta membawa rahmat bagi semesta alam. Sesuai dengan fungsi Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Karena itu, kedua orang tua memiliki peran yang dominan dalam membangun pondasi dan mencetak generasi, karena dialah yang akan mendidik anak-anak dalam ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah menyebutkan tanggung jawab pendidikan anak dan keluarga tersebut di dalam firman-firman-Nya, diantaranya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (QS At-Tahrim [61] : 6).
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa [4] : 9).

Pada beberapa hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan :

Artinya : ”Setiap yang terlahir, ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari).

Artinya : “Apabila manusia telah meninggal, maka semua amalnya akan terputus kecuali tiga perkara. (Yaitu: ) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya”. (H.R. Muslim).

Perkataan Para Sahabat tentang Pendidikan
Berbicara tentang pendidikan anak, berikut ada beberapa perkataan dari orang-orang shalih terdahulu, baik dari kalangan sahabat maupun generasi sesudahnya.

Antara lain, Ali bin Abu Thalib pernah berkata, “Ajari dan didik anak-anakmu pendidikan yang baik.”

Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Suruhlah mereka taat kepada Allah dan didiklah mereka ajaran kebaikan.”

Imam Al-Ghazali menyatakan, “Anak adalah amanah di tangan ibu-bapaknya. Hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya. Apabila ia dibiasakan pada suatu yang baik dan dididik, niscaya ia akan tumbuh besar dengan sifat-sifat baik dan akan bahagia di dunia akhirat. Sebaliknya, bila ia dibiasakan dengan tradisi-tradisi buruk, tidak dipedulikan seperti halnya hewan, niscaya ia akan hancur dan binasa.”

Begitulah, anak tak ubahnya selembar kertas putih. Apa yang pertama kali ditorehkan di sana, maka itulah yang akan membentuk karakter dirinya. Bila yang pertama ditanamkan adalah warna agama dan keluhuran budi pekerti, maka akan terbentuk antibodi (zat kebal) awal pada anak akan pengaruh negatif, seperti rajin ibadah, berbakti pada orang tua, dan sebagainya. Sebaliknya, bila pertama tidak ditanamkan warna agama dan keluhuran budi pekerti, maka yang akan muncul adalah antibodi terhadap pengaruh positif, seperti malas beribadah, enggan belajar, suka membantah, dsb. Jika hal demikian dibiarkan, maka setelah dewasa sukarlah untuk meluruskannya.

POLA PENDIDIKAN ANAK
Pertama, Ajarkan shalat
Allah berfirman : “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah jika enggan melakukannya bila telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (H.R. Abu Daud).

Kedua, Mendidik dengan Kisah
Berkisah tentang kehidupan nabi, keluarga nabi dan sahabat-sahabat beliau, dapat menumbuhkan kecintaan generasi kepada beliau.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan di dalam haditsnya, yang artinya, “Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara : mencintai Nabimu, mencintai keluarganya, dan membaca Al-Qur’an”. (H.R Ath-Thabrani).

Ketiga, mengajarkan Al-Quran
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia”.  (QS Al-Waqi’ah [56] : 77).

Ayat tersebut menyebutkan bahwa Al-Quranul Karim adalah bacaan yang paling mulia, karena ia merupakan kalam Allah Yang Maha Mulia, dibawa oleh malaikat yang mulia Jibril Alaihis Salam, diterima oleh Rasul-Nya yang mulia Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, awal mula diturunkan pun pada bulan paling mulia yakni bulan suci Ramadhan. Diimani dan diikuti oleh umatnya yang mulia, yakni umat Islam.

Orang yang mengetahui kemuliaan Al-Quran, ia pasti akan mencintanya, membacanya, menghayati kandungan isinya, berusaha menghafal ayat demi ayat-Nya, dan yang paling pokok adalah berusaha mengamalkannya secara keseluruhan kaaffaah (totalitas) dalam kehidupan sehari-hari.

Karena Al-Quran sebagai bacaan yang mulia itulah, maka seorang muslim yang membacanya pun akan mendapatkan pahala dari huruf demi huruf yang dibacanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,  yang artinya, "Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf." (H.R. At-Tirmidzi).

Membaca Al-Quran, bukan saja tugas dai/muballigh/ustadz/kyai saja. Tetapi kewajiban kita semua, kebutuhan kita semua selaku hamba-hamba-Nya yang bergelimang dosa, hamba-hamba-Nya yang telah banyak menikmati karunia Allah. Adapun dai/muballigh/ustadz/kyai memang punya peran ganda, untuk dirinya sama dengan yang lain, dan tugas menyampaikan kepada orang lain. Bukan karena pintar, tetapi karena lebi dulu tahu, lebih dahulu Allah beri tahu. Maka kewajiban yang tahu, sampaikan kepada yang lain yang belum mengetahui.

Al-Quran sebagai Petunjuk
Kandungan Al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia, dan pembeda antara yang haq dan yang batil. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

Artinya : “…..Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)…..”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 185).

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa Al-Quran sebagai petunjuk maknanya, Al-Quran secara keseluruhan jika dikaji dan diteliti secara mendalam, akan menghasilkan hukum halal dan haram, nasihat-nasihat, serta hukum-hukum yang penuh hikmah.

Imam As-Suyuthi juga menjelaskan, bahwa Al-Quran mengandung petunjuk yang dapat menghindarkan seseorang dari kesesatan, ayat-ayatnya sangat jelas serta berisi hukum-hukum yang menunjukkan seseorang kepada jalan yang benar.

Keempat, selalu iringi dan kawal pendidikan anak dengan doa
Doa dari orang tua setelah shalat, setelah membaca Al-Quran, setelah bershadaqah, setelah beristighfar, jangan lupakan doakan anak-anak menjadi anak sholih-sholihah, sebut nama-nama anak-anak kita, doakan mereka, bila perlu dengan keharuan dan tetesan air mata, seperti doa dan harapan keluarga Imran di dalam ayat :
Artinya : (Ingatlah), ketika isteri `Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS Ali Imran [3] : 35).

Juga doa-doa pada ayat lain yang dapat kita baca dan hafal, Artinya : "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati [kami], dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al-Furqan [25] : 74).

Waallahu a’lam bis showab
Ust. Ali Farkhan Tsani

Sumber :
http://www.mediaislamia.com/2014/05/mendidik-anak-dengan-al-quran.html

Adab Berbicara Menuru Al-Qur'an

Bagaimana Al-Qur'an Mengajarkan kita untuk berbicara : ingat kawan ucapan adalah doa... jadi mari kawan kita budayakan berbicara benar dan jujur karena itupun sudah di contohkan oleh rasul Allah yang pastinya oleh suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW. nah kawan ini bukti allah agar kita berbicara dengan benar....


1. Berbicara dengan Sejujurnya, (Q.S. Ali 'Imron [3] : 17)
 وَالصَّادِقِينَ
2. Berbicara dengan keadilan, (Q.S. Al-Ahzab [33] : 70)
قَوْلًا سَدِيدًا
3. Berbicara sedang-sedang saja, jangan terlalu keras dan jangan terlalu lemah, Q.S. Al-'Isra' [17] : 110
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا
4. Ucapkanlah kata-kata yang baik, (Q.S. Al-Baqoroh [2] :83)
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
5. Mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar), (Q.S. Al-'Isra' [17] : 53)
وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
6. Berbicara dengan kata-kata yang pantas, (Q.S. Al-'Isra' [17] : 28)
 فَقُل لَّهُمْ قَوْلًا مَّيْسُورًا
7. Berbicara dengan perkataan yang berkesan di hati, (Q.S. An-Nisa [4] :63)
 قَوْلًا بَلِيغًا
8. Berbicara dengan perkataan yang mulia (sopan santun), (Q.S. Al-'Isra' [17] : 23)
 قَوْلًا كَرِيمًا
9. Berbicara dengan kata-kata yang lemah lembut, (Q.S. Toha [20] : 44)
لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا
10. Berbicara dengan kata-kata yang yang baik (sesuai dan sopan), Q.S. Al-'Ahzab [33] : 32)
 قَوْلًا مَّعْرُوفًا
11. Menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia, (Q.S. Al-Mu'minun [23] : 3)
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
12. Tidak berdusta ketika berbicara, (Q.S. Al-Jinn [72] : 5)
 أَن لَّن تَقُولَ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
Referensi :
http://www.mediaislamia.com/2014/05/adab-berbicara-menurut-al-quran.html

Tanggapan Anda :

Jumat, 16 Mei 2014

Sekilas Sejarah Indonesia dari Belanda ke Jepang

Banjirnya uang dari Jepang, memberanikan tekad Soekarno menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962, dengan sebuah stadion raksasa yang dianggap mewah sampai sekarang. Juga menyelengarakan pesta olah raga antara negara berkembang, Ganefo I tahun 1963 (Ganefo hanya sekali dan tak ada kelanjutannya). Hingga 32 tahun berkuasa, Soeharto tak mampu membangun stadion sekelas Senayan di tempat lain, dan juga tak mampu menjadi tuan rumah olahraga internasional yang berbobot, meski mempunyai uang jauh lebih banyak dibanding Soekarno.


Quote:
Batavia atau Jakarta Telah menjadi kota pusat pemerintahan penjajah Belanda selama ratusan tahun, untuk mencuri apa saja yang bisa diambil dari bumi Indonesia. Tapi, menjelang awal Maret 1942, pemerintahan Hindia Belanda memindahkan ibukota ke Bandung. Bukan karena kota itu lebih sejuk dan nyaman, tapi karena Batavia (Jakarta) sudah dikuasai penguasa baru: Jepang.
Bandung jadi penuh sesak oleh pengungsi. Kebanyakan wanita dan anak-anak. Hotel-hotel fully booked dan sumpek. Orang-orang Belanda ini memang ingin ‘berlibur’ di ibukota baru. ‘Libur’ panjang dari memerintah jajahannya untuk selamanya. Kenapa Bandung disebut ibukota? Karena pentolan penguasa Hindia Belanda berkumpul di sana. Ada Gubernur Jenderal Tjarda van Stakenborgh Stachouwer dan keluarga. Ada juga Letnan Jenderal Hubertus Johannes van Mook yang dijangkiti rasa takut mati.



Sebenarnya Bandung juga sama tidak amannya dengan Jakarta. Kota ini dihujani bom dan peluru. Saking pengecutnya, van Mook yang takut mati buru-buru ungsi ke luar Bandung. Pas weekend hari Sabtu 7 Maret 1942, van Mook naik pesawat Glan Martin kabur ke Australia. Yang unik, pesawatnya memakai landasan sepanjang Jalan Buah Batu, karena landasan bandara Andir (sekarang Hussein Sastranegara) rusak. Apa yang dibawa? Kebanyakan bawa baju yang melekat pada badan.

Lalu Kemana Gubernur Jenderal Tjarda?

Dia tetap di Bandung, tidak melarikan diri, karena keesokan harinya, Minggu 8 Maret 1942, dia ada janji penting. Bukan janji sama Tuhan pergi ke gereja, tetapi janjian sama Jenderal Hitoshi Imamura, penguasa militer tertinggi Jepang di Hindia Belanda, yang mewakili Kaisar Hirohito. Mereka berdua bertemu di Kalijati, Subang, untuk menyerahkan kekuasaan Hindia Belanda secara resmi kepada penguasa baru. Hari itu berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia untuk selamanya. Ada majikan baru yang memerintah, dengan nasib baru. Kepedihan dan kesengsaraan baru untuk rakyat Indonesia di bawah kekuasaan Jepang.

Hubungan Gelap

Sejak Jepang menguasai banyak negeri di Asia. praktis pusat kekuasaan jajahan berkiblat ke Tokyo. Dalam film-film perjuangan kita, sering diperlihatkan adegan rakyat Indonesia, yang harus menunduk bersama dengan semangat disiplin tinggi di sebuah lapangan di tiap pagi hari, untuk hormat ke Kaisar Hirohito di Tokyo.
Mirip orang Islam sembahyang menghadap ke Makkah, Saudi Arabia. Jepang datang membawa “harapan baru” bagi Indonesia, yakni sebagai “Saudara Tua” yang membebaskan bangsa Asia dari kejahatan kulit putih orang Eropa. Tentu saja, banyak orang Indonesia senang. Bahasa Belanda dilarang diajarkan dimana-mana. Harus menggunakan bahasa Indonesia dan juga Jepang.

Orang Belanda yang dulu sombong berlagak bagai majikan, berganti nasib di tempatkan di ruang sengsara, di kamp-kamp penyiksaan sistematis. Juga sebagian rakyat Indonesia ikut merasakan ini, terutama yang membangkang terhadap Jepang. Semua kehidupan rakyat Indonesia, sudah diatur dalam sebuah peraturan, yang dibuat sebelum mereka menguasai kepulauan nusantara. Jadi memang sudah ada niat Tokyo untuk datang, berkuasa dan mencuri kekayaan alam Indonesia. Dulu semasa sebelum perang dunia kedua, mereka harus membeli kekayaan alam seperti minyak (bahkan sering kekurangan pasokan) dari Hindia Belanda. Nah, sekarang mereka mendapatkannya secara gratis, dengan cara menyiksa dan membunuhi si pemilik kekayaan alam: orang Indonesia.

Anehnya, sebelum Indonesia lahir sudah terjadi ‘hubungan gelap’ antara Jakarta dan Tokyo. Perdana Menteri Hideki Tojo datang ke Jakarta tahun 1943. Dia menghadiahkan kimono untuk Fatmawati, istri Soekarno, sambil mengundang Soekarno, Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, untuk “jalan-jalan” ke Tokyo. Akhirnya, mereka bertiga pergi ke Jepang pada November 1944. Inilah pertama kali Soekarno (yang kelak menjadi presiden) pergi ke luar negeri.

IBUKOTA PINDAH KE TOKYO

Seperti sudah ditakdirkan (bahkan diramalkan oleh Jayabaya ratusan silam sebelumnya), Indonesia lahir, berjuang dan hidup dengan ‘a little help from Japanese’. Sulit dibantah bahwa kemerdekaan Indonesia, banyak mendapat bantuan dari Kantor Penghubung Jepang di Jakarta. Perumusan naskah proklamasi saja dilakukan di rumah kediaman seorang petinggi Jepang, yang semula direncanakan di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) di Harmoni, Jakarta. Soekarno menjadi presiden juga dengan bantuan pemerintah militer Jepang di Indonesia. Bahkan Soeharto melesat karir militernya, karena didikan dari PETA (Pembela Tanah Air), yang dibentuk Jepang. Bukti dan pengalaman seperti ini, membawa corak yang kental akan peranan Jepang membela dan membantu pembangunan Indonesia, kelak di kemudian hari. Soekarno dan Soeharto adalah sahabat paling akrab keluarga kekaisaran dan pemerintahan Jepang.

Setelah kemerdekaan dan Indonesia mendapat pengakuan internasional, dimulai era baru hubungan antara Indonesia dan Jepang. Sikap Jepang sangat hati-hati terhadap bangsa Indonesia (juga bangsa Asia lainnya), yang masih terkenang getirnya masa lalu hidup bersama Jepang yang bengis. Bahkan Kaisar Hirohito jarang, mungkin tidak pernah, berkunjung ke negara Asia manapun, setelah perang usai. Meski setiap kepala negara Asia sowan kepadanya, bila datang dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Tokyo.

Kekejaman masa pendudukan Jepang, ditanggapi dengan tuntutan pembayaran pampasan perang oleh Indonesia, sebesar 17,5 miliar dolar AS. Jumlah yang terlalu tinggi untuk ditolak Jepang. “Emangnya Jepang pernah benar-benar perang sama Indonesia?. Kita tak perlu bayar apapun!”, komentar orang yang menolaknya. Namun Jepang tetap membayar sejumlah besar uang untuk mengobati luka hati bangsa Indonesia (juga negara Asia lainnya), yang tak bisa dihargai oleh uang atau apapun. Dimulailah perundingan pampasan perang yang membuat Presiden Soekarno dan juga pejabat penting laiinya, sering datang ke Tokyo.

Selama menjadi presiden, Soekarno telah 15 kali berkunjung ke luar negeri ke 58 negara (termasuk ke Bangladesh, Singapura dan Bahrain, yang saat itu belum menjadi negara merdeka). Sekali berkunjung bisa satu negara (tapi jarang), atau ke sejumlah negara sekaligus didatangi. Pernah antara 16 April sampai 2 Juli 1961, Soekarno sekali jalan mengunjungi 21 negara! Mungkin karena pesawatnya sering menyewa, jadi Soekarno sekalian aja pakai sekaligus mengunjungi sejumlah negara. Dari 15 kali pergi ke luar negeri (antara 1951 sampai 1965), 11 kali diantaranya termasuk pergi ke Jepang.

Quote:
Saking seringnya ke Tokyo, wartawan kawakan Mochtar Lubis yang selalu membangkang dengan kebijakan Soekarno, mengejeknya, “Wah, ibukota Indonesia pindah ke Tokyo”. Ini bukan gurauan. Tapi kenyataan. Pejabat dan menteri sering melaporkan pekerjaannya bukan ke Istana Merdeka, tapi ke Tokyo.

Jaksa Agung AS Bob Kennedy ingin bertemu Soekarno, datangnya harus ke Tokyo, bukan ke Jakarta (dia pernah datang ke Jakarta sebelumnya.) Tanggal 29 Januari 1958, Soekarno menjadi presiden pertama Indonesia yang berkunjung ke Jepang selama 18 hari. Inilah kunjungan kenegaraan pertamanya dan satu-satunya ke Jepang. Selebihnya kunjungan kerja untuk membahas pampasan perang, berunding dengan Malaysia dan keperluan lain. Namun setiap dia ke Tokyo, Soekarno hampir selalu diundang makan siang oleh Kaisar Hirohito. Sebuah sikap yang jarang didapat oleh kepala negara manapun di dunia. Sejak itu dia sering ke Tokyo. Dari 22 tahun menjadi presiden, Soekarno berada di Jepang (kebanyakan di Tokyo) selama 117 hari, yang diakumulasikan dari 11 kali ke Jepang. Artinya, 1,5% masa kepresidenannya dihabiskan di Jepang. Jumlah yang sangat besar untuk ukuran panjang masa kekuasaan Soekarno.

Seringnya Soekarno berada di Tokyo, membuat perundingan pampasan perang menjadi lancar, yang akhirnya dibayar Jepang secara bertahap. Hasilnya, bisa dilihat dengan munculnya bangunan-bangunan gigantik. Misalnya hotel-hotel di Pelabuhan Ratu, Yogyakarta, Bali, Hotel Indonesia, Jembatan Ampera di Palembang, serta Wisma Nusantara setinggi 29 lantai (diresmikan Soeharto tahun 1969), adalah sebuah hasil dari pampasan perang. Gedung perkantoran ini cukup modern di Asia untuk ukuran saat itu. Yang paling monumental adalah tugu monumen nasional di tengah Jakarta, yang merupakan simbol hasil pampasan perang.

Meskipun Soekarno sering ke Tokyo (117 hari), tidak demikian dengan perdana menteri Jepang. Selama ia berkuasa, hanya 2 orang perdana menteri yang datang ke Jakarta. Pertama adalah Perdana Menteri Nobusuke Kishi pada November 1958. Anehnya, 50 tahun kemudian cucu Kishi, Perdana Menteri Shinzo Abe, datang ke Jakarta pada Agustus 2008. Dan kedua PM Hayoto Ikeda pada September 1963. Baik Kishi dan Ikeda datang cuma 2 hari di Jakarta. Namun Jepang akhirnya mengirimkan Putera Mahkota Akihito dan Putri Michiko datang ke Indonesia pada 1962. Dia menjadi anggota kekaisaran Jepang yang pertama datang ke sebuah negeri bekas jajahan Jepang paling luas.

Tiga puluh tahun kemudian, Akihito dan Permaisuri Michiko juga menjadi Kaisar Jepang pertama yang datang ke Indonesia pada 3 Oktober 1992. Kaisar Akihito datang menghadiahkan ikan koi hasil silangan koi Jepang dan koi Indonesia, untuk Soeharto.

Selama 17 hari mereka dimanja dan dipamerkan kehebatan Jepang. Dan yang spektakuler, mereka di pertemukan dengan Kaisar Hirohito. Kok mau-maunya Hirohito bertemu orang yang statusnya belum jelas? Mereka bukan kepala negara, bukan utusan sebuah negara dan hanya warga biasa. Lebih aneh lagi, Kaisar Hirohito ‘merusak’ protokol Istana Kekaisaran dengan menyalami Soekarno dan memberinya medali kehormatan tertinggi. Belum pernah seorang kaisar melakukan hal ini sebelumnya. Padahal di saat yang bersamaan, ribuan orang Indonesia mati sia-sia bagaikan serangga di* pembasmi hama, oleh tentara Jepang.

Di tahun-tahun berikut menjelang kemerdekaan, kejadian itu melekatkan sebuah anggapan kuat, bahwa Soekarno dan Hatta (dan juga beberapa pendiri negara Indonesia) memang ‘boneka Jepang’. Di hadapan Jenderal Imamura, Soekarno pernah berpura-pura dan ‘menjilatnya’, dengan kata-kata, “Tuan mengusir orang yang dianggap penindas sejati bangsa Indonesia. Saya berterima kasih kepada Tuan untuk selama-lamanya”. Tuduhan sebagai kolaborator Jepang, ternyata efektif menjauhi Soekarno mendapat pengakuan atas kemerdekaan negerinya yang ia lakukan bersama patriot lain, dari dunia internasional, khususnya negara-negara barat yang menang dalam perang dunia kedua. Bila tidak pandai-pandai berunding, bersilat lidah dan bisa mengambil hati rakyat, Soekarno dan Hatta bisa saja diadili sebagai penjahat perang oleh Sekutu dan juga tentunya oleh Belanda, yang ingin datang kembali menguasai Indonesia, meski gagal total.

Kebalikannya dialami oleh PM Tojo. Seusai perang, dia diadili sebagai penjahat perang oleh Sekutu dan digantung di sebuah tempat di Tokyo, yang sekarang menjadi lokasi berdirinya gedung pencakar langit Sunshine 60.

"WOMAN FROM TOKYO"...


Ratna Sari Dewi (Naoko Nemoto), Istri ke - Presiden Soekarno

Begitu sering Soekarno ke Tokyo (hotel favoritnya dia menginap adalah di Imperial Hotel), melahirkan sebuah lobi-lobi tingkat tinggi para pengusaha Jepang, untuk mendapatkan proyek-proyek konstruksi pembangunan Indonesia pasca perang. Pada hari ulang tahunnya ke 58, 6 Juni 1959, Soekarno datang kedua kalinya ke Tokyo untuk kunjungan selama dua minggu. Seorang pengusaha Jepang yang dekat pejabat tinggi Indonesia, Kubo Masao, memperkenal kepada Soekarno, seorang wanita cantik kabaret dari klub malam ternama di Tokyo, Akasaka’s Copacabana. Namanya Nemoto Naoko yang baru berumur 19 tahun, ketika diperkenalkan saat Soekarno datang ke klub tersebut pada 16 Juni 1959.

Nemoto adalah seorang wanita yang cantik, cerdas, gaul, bisa melukis dan mudah menguasai bahasa asing. Akhirnya dia dijadikan istri ketiga oleh Soekarno. Namanya menjadi Ratna Sari Dewi. Mereka menikah pada 3 Maret 1962. Soekarno sangat sayang padanya. Pernah dia ngambek dan minggat ke sebuah biara di Jawa Tengah. Soekarno bagai orang tak punya darah. Namun Soekarno pernah juga marah kepada Dewi, di depan Menteri Oei Tjoe Tat. Ketika Oei di Bangkok, dia dipanggil Soekarno ke Tokyo untuk suatu urusan penting. Selama mereka berdiskusi, Dewi sering menegur suaminya dengan halus agar jangan terlalu lama menerima tamu, karena ada urusan lain. “Diam! Diam! Saya bilang diam!”, bentak Soekarno bagai suara geledek. Oei Tjoe Tat pun buru-buru minta diri pamit.

Quote:
 
Bung Karno Dan Ratna Sari Dewi
Peranan Dewi sangat besar dalam lobi-lobi pampasan perang antara Jepang dan Indonesia. Hampir semua kalangan bisnis Jepang, Indonesia dan pengusaha keturunan Cina pada masa itu harus sowan ke Wisma Yaso, agar bisnisnya licin dan lancar. Wisma Yaso adalah nama sebuah vila luas dan asri di daerah Kuningan Barat, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang menjadi tempat kediaman Dewi. Vila itu dikenal dengan nama Wisma Yaso, yang diambil dari nama adiknya Dewi.

Kini bekas rumah Dewi dijadikan sebuah museum militer, yang sebelumnya dikuasai negara secara sepihak dan dikemudian diberi ganti rugi kepada Dewi. Di rumah itulah, Soekarno yang karirnya naik banyak dibantu Jepang, harus menikmati kesengsaraan di saat-saat akhir menjelang ajalnya, di rumah istri berkebangsaan Jepang juga.

DIMANA IBUKOTA INDONESIA?

Dijadikannya Tokyo sebagai ‘ibu kota’ Indonesia, memperpanjang deretan kota-kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan. Menjelang maghrib Kamis malam, 3 Januari 1946, sebuah gerobong kereta luar biasa, langsir menyelinap di belakang rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur no. 56. Sang masinis, Soedarjo, dengan lihai berhasil membawa Soekarno dan Hatta berserta keluarga dengan taruhan nyawa. Dengan tanpa lampu sama sekali, gerbong yang membawa penumpang VIP itu, berhasil lolos dari patroli Belanda sepanjang perjalanan.

Keesokan harinya, Soekarno dan Hatta tiba di Jogjakarta. Sejak itu, resmi ibukota RI pindah ke Jogjakarta. Kenapa pindah? Jakarta sudah tak aman lagi. Sutan Sjahrir, sang perdana menteri dibiarkan tinggal di Jakarta dan berkantor di bekas rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur. Tindakan Soedarjo yang membawa proklamator hijrah ke Jogjakarta dinilai heroik, yang akhirnya membawa dia menjadi pengusaha nasional yang sukses, diantaranya menjadi Pemimpin Umum harian sore Suara Pembaruan.

Pada 18 Desember 1948, Indonesia memindahkan lagi ibukota dari Jogjakarta ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Tepatnya dibelantara hutan yang jelas lokasi. Pemindahan ini karena Jogjakarta jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. Daripada negara RI hilang, pindahkan saja ke kota lain. Bahkan, kalau tidak bisa dilakukan pindah ke Bukittinggi, pindahkan ke luar negeri dengan membentuk pemerintahan dalam pengasingan, yaitu ke New Delhi! Saat itu, ada beberapa pejabat penting Indonesia sedang berada di sana. Baru tahun 1950, Jakarta kembali menjadi ibukota negara, yang diselingi oleh Tokyo sebagai ‘ibukota’, karena presiden sering di sana. Sebenarnya Soekarno adalah tipe pemimpin yang mudah mempercayai pembantunya.
Reply With Quote
  




Bila dia sering pergi ke luar negeri, yang ‘jaga rumah’ biasanya Djuanda Kartawidjaja, sebagai Menteri Pertama. Setelah Djuanda, yang lebih sering jaga kandang adalah Johannes Leimena, juga seorang wakil perdana menteri dan seorang dokter yang sangat dipercaya Soekarno. Selama 10 tahun sejak 1956, Soekarno tak punya wakil presiden. Banyaknya perjalanan Soekarno ke luar negeri, bukan menjadi masalah bila dia tak berlama-lama di suatu tempat negara asing. Nah, Soekarno sering menetap lama di Tokyo, maka jadilah semua urusan mendesak harus di laporkan ke ibukota Jepang itu.

Soeharto juga lebih banyak dibanding Soekarno pergi ke luar negeri. Namun dia tak pernah lama-lama berada di luar negeri. Jadi dia banyak mempercayai wakil presiden untuk mengurus urusan rumah. Bahkan Abdurrahman Wahid lebih praktis lagi. Dia bisa dalam satu hari di Eropa mengunjungi tiga ibukota negara sekaligus. Pagi, siang dan malam dalam sehari menjadi tamu di negara yang berbeda. Habibie lebih unik. Dia adalah presiden yang jarang ke luar negeri. Ketika menghadiri KTT APEC di Kuala Lumpur tahun 1998 selama dua hari, tetapi dia tak pernah bermalam di ibukota Malaysia itu. Caranya? Pagi datang, malam pulang. Besok pagi datang lagi, sore pulang lagi.

Presiden Yudhoyono pernah berbuat aneh, seolah tak percaya dengan wakil presiden. Dia mengadakan rapat kabinet dari AS dengan menteri-menterinya di Jakarta. Sebuah tindakan berbahaya bila isi rapat itu sangat rahasia, karena sebuah teleconference secara teknis sangat rawan diketahui isinya oleh pihak luar.

Di akhir tahun 1950-an, Soekarno sudah melihat jauh ke depan untuk memindahkan ibukota negara ke sebuah kota di tengah hutan Kalimantan, Palangkaraya. Kota itu adalah satu-satunya ibukota propinsi yang dibangun setelah kemerdekaan. Sebuah keinginan yang sekarang menjadi pilihan mendesak untuk mengganti Jakarta yang sudah sarat dengan banyak beban sosial multi dimensi.

JAPANESQUE

Sulit dibayangkan bila Indonesia tanpa Jepang. Selama menjadi sebuah negara, Indonesia punya hubungan khusus dan historis dengan negeri matahari terbit itu, yang tak dimiliki dengan negara manapun di dunia. Meskipun bukan bikinan Jepang, kemerdekaan Indonesia adalah bantuan Jepang, yang memberi semangat untuk lepas dari cengekraman kekuasaan kulit putih. Kebangkitan Nasional yang dicetus seabad silam, juga diilhami dengan kemenangan Jepang atas perang melawan Rusia di Mancuria, Cina. Jepang banyak meninggalkan corak kehidupan bagi orang Indonesia. Dari segi sejarah, sosial dan ekonomi. Kemerdekaan Indonesia memakai tahun Sumera, tahun berdasarkan perhitungan orang Jepang, yaitu tahun 2605.

Konsep pembentukan rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) adalah konsep dari pemerintahan militer Jepang ketika menjajah Indonesia. Hanya dengan Indonesia, Kaisar Hirohito berani pertama kali menyatakan kata fuko-na, yaitu bahasa halus untuk melukiskan kesialan pada masa silam yang terjadi dengan tindakan Jepang pada Indonesia. Kata itu diucapkan di depan Presiden Soeharto yang berkunjung ke Jepang tahun 1968. Kenapa dengan Soekarno dia tidak berani? Banyak pertimbangan untuk dia melakukannya. Kata itupun akhirnya ulangi Hirohito kepada kepala negara yang negerinya pernah disakiti Jepang. Tahun 1974 kepada Presiden AS Gerald Ford, tahun 1978 kepada Wakil Perdana Menteri Cina Deng Xiaoping dan tahun 1983 kepada Presiden Korea Selatan Chun Do-Hwan. Walau masih ada kenangan masa lalu yang pahit, Jepang tetap sahabat yang sangat menjaga perasaan orang Indonesia yang pernah mereka sakiti, dibanding dengan sikap arogan negara-negara tetangga Indonesia.

Kini setiap presiden Indonesia pasti harus datang ke Tokyo dan bertemu sang kaisar. Sebaliknya, setiap perdana menteri Jepang bila perlu, pasti datang ke Jakarta. Letak strategis kota Tokyo memaksa seorang presiden Indonesia harus ke sana, bila datang dari dan pergi ke AS sebagai tempat transit. Begitu akrabnya hubungan kedua negara, Soekarno pernah ngotot minta diterbangkan langsung dari Tokyo ke Pyongyang, Korea Utara, negara musuhnya Jepang sampai kini. Permintaan itu dipenuhi (yang tak mungkin diberikan Jepang kepada kepala negara manapun di dunia).

Dulu semasa perang Jepang mengirimkan bom, peluru dan bayonet untuk orang Indonesia. Kini mereka mengirimkan Toyota, Sanyo, Aiwa, Sony, Honda, Yamaha, Daihatsu, Mitsubishi, Hitachi, sukiyaki, sushi dan sandal jepit, yang dipakai oleh setiap orang Indonesia dari bangun tidur sampai pergi tidur.

Sumber : http://forum.viva.co.id/sejarah/1631422-sejarah-dulu-ibukota-indonesia-adalah-tokyo.html